Pasarliga99.com - Ada sebuah kenangan kuat ketika saya berusia 7 tahun. Masih sangat jelas dan saya bisa mengenangnya hingga saat ini, dan itu semua membuat saya bahagia. Semua ini berkaitan dengan keluarga.
Saya baru saja memulai bermain sepakbola yang sesungguhnya. Sebelumnya, saya hanya bermain di jalanan Madeira bersama teman-teman. Dan ketika saya menyebut jalan, maksud saya bukan jalan yang sepi. Maksud saya memang jalan raya. Kami tak memiliki gawang atau lainnya, dan kami harus menghentikan permainan ketika ada mobil lewat. Saya sangat bahagia melakukannya setiap hari, waktu ayah saya adalah orang yang mengurusi segala perlengkapan untuk CF Andorinha-- dan ia selalu mendesak saya untuk bergabung dan bermain bersama tim mudanya. Saya tahu itu akan membuatnya bangga, saya setuju.
Hari pertama, banyak aturan yang tidak saya mengerti, tapi saya suka. Saya jadi kecanduan terhadap peraturan itu dan perasaan kemenangan. Ayah saya selalu berada di pinggir lapangan setiap pertandingan dengan jenggotnya yang lebat dan seragam kerjanya. Ia suka sepakbola. Tapi ibu dan saudara perempuan saya tak tertarik dengan sepakbola.
Setiap malam, ayah selalu berusaha mengajak mereka untuk melihat saya bermain. Seolah-olah ia adalah agen pertama saya. Saya ingat ketika pulang ke rumah setelah pertandingan bersamanya dan ia mengatakan, "Cristiano mencetak gol!"
Mereka menanggapi, "Oh, hebat."
Tapi mereka tak benar-benar tertarik.
Di kemudian hari ia pulang ke rumah dan mengatakan, "Cristiano mencetak dua gol!"
Masih tidak tertarik. Mereka hanya mengatakan, "Oh, itu sangat menyenangkan, Cris."
Jadi apa yang harus saya lakukan? Saya terus mencetak gol.
Pada suatu malam, ayah saya pulang ke rumah dan mengatakan, "Cristiano mencetak tiga gol! Ia luar biasa! Kalian harus melihatnya bermain!"
Tapi tetap saja, ketika saya melihat ke pinggir lapangan setiap sebelum pertandingan hanya melihat ayah saya berdiri sendirian. Kemudian pada suatu hari – saya tak akan melupakan kenangan ini—saya sedang melakukan pemanasan dan melihat ke pinggir lapangan, saya melihat ibu dan saudara perempuan saya duduk bersama di kursi di pinggir lapangan.
Mereka menonton saya bermain... bagaimana saya menggambarkan ini? Mereka tampak nyaman. Mereka duduk saling berdekatan, dan mereka tak mau tepuk tangan atau memberikan sorakan, mereka hanya melambaikan tangan pada saya, seakan-akan saya mengikuti pawai atau hal semacam itu. Mereka seperti tak pernah menonton sepakbola sebelumnya. Tapi mereka ada di sana. Itu yang saya butuhkan.
Saya senang kala itu. Kehadiran mereka sangat berarti bagi saya. Rasanya ada sesuatu yang merasuk ke dalam diri saya. Saya sangat bangga. Saat itu, kami tak punya banyak uang. Kehidupan di Madeira masih susah. Saya bermain dengan sepatu butut pemberian saudara laki-laki atau sepupu saya memberi sepatu itu. Tapi ketika masih kecil, kalian pastinya tak peduli dengan uang. Yang kalian inginkan adalah perasaan bahagia. Dan pada saat itu, perasaan itu, sangat kuat. Saya merasa mendapat perlindungan dan dicintai. Dalam bahasa Portugal, kami mengatakan Menino querido da família (Anak kesayangan keluarga, ed.)
Saya bernostalgia dengan kenangan-kenangan itu, karena ternyata masa hidup saya singkat. Sepakbola memberi saya segalanya, tapi sepakbola juga membuat saya jauh dari rumah ketika saya belum benar-benar siap. Ketika saya umur 11 tahun, saya sudah pindah ke akademi Sporting Lisbon, dan itu adalah masa paling sulit dalam hidup saya.
Jika memikirkan hal itu sekarang rasanya aneh. Anak saya, Cristiano Jr. berusia 7 tahun ketika saya menulis ini. Saya membayangkan bagaimana perasaan saya, ketika mengemasi tas untuknya selama empat tahun dan mengirimnya ke Paris atau London. Tidak mungkin. Dan saya yakin semua itu tak mungkin dilakukan orang tua pada saya.
Tapi saat itu adalah kesempatan untuk mengejar cita-cita. Mereka mengizinkan saya pergi, dan saya berangkat. Saya menangis hampir setiap hari. Saya masih di Portugal, tapi rasanya sudah pindah ke luar negeri . Logat di sana seperti bahasa yang berbeda. Budayanya berbeda. Saya tak kenal siapapun, dan saya benar-benar sendirian. Keluarga saya hanya mengunjungi saya sekitar empat bulan sekali. Saya sangat merindukan mereka sehingga hari-hari saya terasa menyakitkan.
Sepakbola membuat saya bisa menghadapinya. Saya tahu bahwa saya bisa melakukan sesuatu di atas lapangan yang tak bisa dilakukan anak-anak lain di akademi. Saya ingat di hari pertama, ada satu anak yang mengatakan pada anak lainnya, "Apakah kamu melihat apa yang ia lakukan? Anak ini seperti binatang."
Saya mulai terbiasa mendengar itu. Bahkan dari pelatih. Namun kemudian ada orang yang selalu mengatakan, "Ya, tapi sayang sekali, ia sangat kecil."
Itu memang benar, waktu itu saya masih kurus. Saya tak punya otot. Maka saya membuat keputusan pada usia 11 tahun. Saya tahu saya punya bakat besar, saya bekerja lebih keras dari yang lain. Saya berhenti bermain seperti anak kecil. Saya berhenti berlaku seperti anak-anak. Saya berlatih seolah saya akan jadi pemain terbaik dunia.
Saya tak tahu dari mana perasaan seperti itu datang. Mula-mula ada dalam diri saya. Rasanya seperti rasa lapar yang tak pernah mau pergi. Ketika kalah, menimbulkan rasa lapar. Ketika menang, rasanya masih saja kelaparan, tapi hanya sedikit makan remah. Hanya dengan ini saya bisa menjelaskan.
Saya mulai menyelinap keluar dari asrama pada malam hari untuk berlatih. Saya menjadi lebih besar dan lebih cepat. Dan kemudian ketika saya melangkah memasuki lapangan— orang-orang yang suka mencibir, "Ya, tapi dia sangat kurus"—saat melihat saya sekarang, bagi mereka dunia ini rasanya akan runtuh.
Ketika saya berumur 15 tahun, saya mengatakan pada rekan saya ketika latihan. Saya sangat ingat itu. Saya mengatakan pada mereka, "Suatu hari nanti saya akan menjadi pemain terbaik dunia."
Mereka tertawa. Bahkan saya belum masuk tim utama di Sporting kala itu, tapi saya sudah punya keyakinan seperti itu. Saya serius menginginkannya.
Ketika saya mulai bermain sebagai pemain profesional pada usia 17 tahun, ibu saya hampir tak bisa melihat saya bertanding karena stress. Tapi ia bersedia datang untuk melihat saya bermain di Estadio Jose Alvalade yang lama, dan dia begitu tegang ketika melihat laga besar dan ia pingsan berkali-kali. Sungguh, ia pingsan. Dokter mulai memberikan obat penenang hanya untuk melihat pertandingan saya.
Saya mengatakan padanya," Ingat ketika Anda tak tertarik dengan sepakbola?"
Mimpi saya semakin besar dan kian besar. Saya berhasrat bermain untuk tim nasional, dan saya ingin bermain di Manchester, karena saya suka melihat Premier League di TV. Saya terpesona dengan kecepatan permainan di sana dan lagu-lagu yang dinyanyikan di dalam keriuhan penonton. Atmosfernya membuat saya kian semangat. Ketika saya menjadi pemain Manchester,adalah momen yang sangat membanggakan, tapi saya rasa keluarga lebih bangga lagi.
Memenangkan trofi untuk pertama kalinya membuat saya sangat emosional. Saya ingat ketika saya menjuarai Liga Champions yang pertama di Manchester, perasaan saya campur aduk. Demikian juga ketika menerima Ballon d'Or untuk pertama kalinya. Tapi mimpi saya semakin tinggi. Begitulah sebuah impian, bukan? Saya selalu mengagumi Madrid, dan saya menginginkan tantangan baru. Saya ingin menyabet gelar di Madrid, memecahkan semua rekor, dan menjadi pemain legend di klub itu.
Selama delapan tahun, saya telah meraih sesuatu yang sangat mengagumkan di Madrid. Tapi jujur, menjuarai trofi di kemudian hari dalam karier saya menimbulkan perasaan berbeda. Khususnya dalam dua tahun terakhir. Di Madrid, jika tidak menjuarai segalanya, orang-orang akan menganggapnya itu kegagalan. Inilah yang diharapkan dari sebuah kehebatan. Itu tugas saya.
Ketika kalian menjadi seorang ayah, perasaan sepenuhnya berbeda. Perasaan yang tak bisa saya gambarkan. Inilah kenapa waktu saya di Madrid terasa spesial. Saya seorang pemain sepakbola, ya, tapi juga seorang ayah.
Ada suatu saat saya bersama dengan anak saya yang akan saya kenang terus.
Ketika saya memikirkan itu membuat saya senang.
Momen itu adalah ketika di atas lapangan setelah kami menjuarai Liga Champions yang terakhir di Cardiff. Malam itu kami membuat sejarah. Ketika saya di atas lapangan setelah tiupan peluit terakhir tanda berakhirnya pertandingan, rasanya saya mengirimkan sebuah pesan kepada dunia. Tapi ketika anak saya masuk lapangan untuk merayakan bersama saya... tiba-tiba perasaan itu berubah dalam waktu sekejap. Ia berlarian bersama anaknya Marcelo. Kami memegangi trofi bersama. Kemudian kami mengitari lapangan, bergandengan tangan.
Itu adalah kesenangan yang tidak saya mengerti hingga menjadi seorang ayah. Banyak yang saya rasakan secara serentak yang tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Satu kejadian yang bisa saya samakan dengan perasaan waktu itu adalah ketika saya melakukan pemanasan di Madeira dan melihat ibu dan saudara perempuan saya duduk berdekatan di pinggir lapangan.
Ketika kami kembali ke Bernabeu untuk merayakan, Cristiano Jr dan Marcelito bermain-main di atas lapangan di hadapan seluruh fans. Sangat berbeda ketika saya bermain di jalanan pada usianya, tapi saya berharap perasaan anak saya sama dengan perasaan saya saat itu.Menino querido da família.
Setelah 400 pertandingan bersama Madrid, menjadi juara masih merupakan ambisi terakhir saya. Saya rasa saya terlahir seperti itu. Tapi perasaan setelah menjadi juara telah berubah. Ini adalah babak baru dalam hidup saya.
Saya punya pesan khusus yang terukir di sepatu Mercurial saya yang baru. Tepat berada di bagian tumit, kata-kata itu adalah hal terakhir yang saya baca sebelum bermain dan menuju ke terowongan di stadion.
Itu menjadi pengingat terakhir, motivasi terakhir. Di sana tertulis, " El sueño del niño,"
Mimpi seorang anak.
Mungkin sekarang kalian mengerti.
Pada akhirnya, misi saya tetap sama dengan yang dulu. Saya ingin terus memecahkan rekor di Madrid. Saya ingin memenangkan trofi terbanyak. Inilah sifat saya.
Apa yang paling berarti bagi saya selama di Madrid, dan apa yang akan saya ceritakan pada cucu saya ketika saya berusia 95 tahun, adalah sebuah perasaan seorang juara yang berjalan di atas lapangan, bergandengan dengan anaknya.
Saya berharap kami akan mengulanginya lagi.
Cristiano Ronaldo
*Artikel ini pertama kali diterbitkan The Player Tribune dengan judul 'Madrid: My Story'.
0 komentar :
Posting Komentar